Headlines.id – Ketika berbagai sektor industri di Tanah Air merasakan sulitnya mengembangkan bisnis, bahkan beberapa sektor mengeluhkan penurunan volume bisnis, sektor industri e-commerce justru terus berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir.
Pada 2013 nilai transaksi e-commerce Indonesia baru senilai US$ 750 juta, naik menjadi US$ 1,1 miliar pada 2014, dan terus meningkat dari tahun ke tahun hingga menjadi US$ 2,4 miliar pada 2017. Besaran nilai pasar/transaksi e-commerce di Indonesia ini mungkin masih bisa diperdebatkan, karena tiap lembaga yang menilai mengeluarkan perkiraan angka yang berbeda-beda. Misalnya, Bank Indonesia menyebut nilai transaksi e-commerce pada 2014 sudah mencapai US$ 2,6 miliar. Sementara riset terbaru yang dilakukan Google bekerjasama dengan Temasek menyebutkan, besaran GMV (gross merchandise value) e-commerce pada 2018 di Asia Tenggara sebesar US$ 23,2 miliar, dan di Indonesia sebesar US$ 12,2 miliar atau sekitar separuhnya.
Meskipun perkiraan besaran transaksinya berbeda—beda, tampaknya semua sepakat ada tingkat pertumbuhan yang relative tinggi di industri e-commerce Indonesia. Sebagai contoh, Frost & Sullivan memperkirakan pertumbuhan nilai transaksinya hingga 2019 rata-rata per tahun mencapai 31%. Lembaga riset lainnya, IDC, dengan melihat rentang periode 2012-2015 malah memperkirakan angka pertumbuhannya di kisaran 42%; yang relatif jauh dibandingkan negara-negara sejawat di ASEAN, seperti Malaysia (14%), Thailand (22%). dan Filipina (28%).
Artinya, dari waktu ke waktu para pelaku bisnis e-commerce di Indonesia telah mendapat kepercayaan cukup besar dari para pengguna atau konsumen e-commerce. Sebagai contoh, Tokopedia, salah satu pemain pentingnya, tercatatpada 2018 memiliki pengguna aktif bulanan mencapai 90,8 juta, meningkat 115 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar 42,3juta. Pemain penting satunya lagi, Bukalapak, pada 2018 mempunyai jumlah visitor 12 juta per hari, dengan nilai GMV sebesar Rp 4 triliun per bulan.
Semringahnya dunia e-commerce dan digital business itu bukan hanya terlihat dari perkembangan nilai pasar e-commerce, tetapi juga dari perkembangan bisnis sejumlah pemain penting dari Tanah Air. Sejak tahun lalu, Indonesia boleh dibilang sudah mempunyai empat unicorn, sebutan untuk perusahaan rintisan yang telah mencapai valuasi di atas US$ 1 miliar (saat ini setara dengan Rp 14,13 triliun).
Pertama, Traveloka, perusahaan layanan penjualan tiket online yang didirikan Ferry Unardi, Albert, dan Derianto Kusuma pada 2012. Kedua, Grup Go-Jek, perusahaan rintisan yang didirikan Nadiem Makarim, Michaelangelo Moran, dan Kevin Aluwi pada 2010, yang bermula dari bisnis transportasi online. Ketiga, Tokopedia, marketplace digital yang didirikan William Tanujaya dan Leontinus A. Edison pada 2009. Dan, keempat, Bukalapak, juga marketplace, yang didirikan Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Fajrin Rasyid pada 2010.
Pencapaian predikat unicorn telah menunjukkan bahwa mereka makin dipercaya olehkalangan investor besar dunia, seperti Sequioa Capital, DST Global, KKR&Co., Softbank Visionmnd, Alibaba Group, dan Tencent. Misalnya, hingga awal 2018, Grup Go-Jek telah mendapat total pendanaan US$ 1,9 miliar dan Tokopedia dikabarkan telah mendapatkan US$ 1,35 miliar. Bahkan, karena pada 12 Desember 2018 Tokopedia kembali mendapatkan suntikan dana hingga senilai US$ 1,1 miliar dari sejumlah investor global, menurut Crunchbase total pendanaan ke Tokopedia mencapai US$ 2,4 miliar.
Dua dari empat unicorn domestik di atas sejak awal sudah berkiprah di bidang e-commerce, terutama sebagai marketplace, yakni Tokopedia dan Bukalapak. Adapun Go-Jek, yang mulanya bergerak di jasa ride-hailing, kini juga merambah berbagai bisnis jasa lainnya termasuk e-commerce, seperti di bidang makanan lewat Go-Food. Di luar para unicorn tadi, ada sejumlah pelaku digital business lainnya yang juga terus berkembang dalam skala yang lebih kecil, seperti Kudo, SayurBox, BerryBenka, dan HappyFresh.
Yang menarik, banyak pemain e-commerce Indonesia yang sukses dan berkembang
berkat menggunakan model bisnis sebagai platform. Boleh jadi, langkah ini mengikuti sukses yang sudah dirintis empat creme de la creme di bisnis digital dunia: Amazon, Google, Facebook, dan Apple yang didokumentasikan dengan apik oleh Phil Simon lewat bukunya The Age of the Platform (2011).
Simon mendefinisikan platform sebagai sebuah ekosistem yang sangat berharga dan berpengaruh, yang dapat dengan cepat dan mudah mengukur, mengubah, dan menggabung-kan aneka fitur (istilahnya plank) serta menghubungkan pengguna, konsumen, vendor, dan rekanan. Jadi, dengan platform, berbagai pihak bias sa1ing menjangkau, berkomunikasi, mendapatkan informasi, dan berkolaborasi. Kata kuncinya adalah “ekosistem” (yang hidup dan dinamis, berisi para pihak yang saling membutuhkan) dan “kolaborasi” (untuk membangun pasar secara bersama- sama). Pelengkapnya adalah unsur-unsur berupa fitur-fitur (produk dan layanan, teknologi, inovasi, program-program pemasaran, dan semacamnya.
Begitu populernya platform setelah suksesnya empat raksasa bisnis digital itu, membuat banyak bisnis rintisan yang masih diinkubasipun (seperti di Y Combinator atau Founders Institute) termotivasi dengan dua hal: menjadi platform atau membuat fitur dan produk layanan yang terintegrasi dengan platform-platform yang sudah ada.
Model bisnis sebagai platformlah yang telah dipilih pemain-pemain penting seperti Tokopedia, Bukalapak, Grup Go-jek. Blibli, Blanja, Kudo, Elevenia, Ralali, dan Indotrading. Begitu juga dengan sejumlah nama lain seperti TaniHub, SayurBox, HappyFresh, Berrybenka dan Hijup. Ada yang berupa platform marketplace untuk B2C, C2C, ataupun B2B.
Karena merupakan platform, teknologi dan fasilitas/ fitur yang mereka bangun pun bisa dinikmati para pelaku bisnis lainnya, tanpa perlu susah payah membangun sendiri. Tentu, biasanya ada kompensasi tertentu.
Para pihak yang diajak kolaborasi ini dari kalangan pengembang dan vendor teknologi, kalangan merchant/ pemilik toko, mitra penyedia sistem pembayaran, mitra pergudangan, dan mitra penyelenggara jasa pengiriman. Bersama—sama, mereka membentuk menjadi suatu ekosistem bisnis digital. Dan, indahnya bisnis digital berbasis platform ini: sukses sebuah platform tergantung pada sukses para mitranya.
Dengan demikian, dalam konteks e-commerce. Sukses sebuah platform marketplace juga tergantung pada keberhasilan para mitra bisnisnya, terutama mitra merchant atau pelapaknya. Semakin bagus daya tarik dan nilai penjualan para merchant—nya, otomatis akan meningkatkan kinerja sang penyedia platform. Semakin banyak merchant yang dilibatkan, berarti layanan platform itu pun semakin lengkap. Di sinilah terjadi simbiosis mutualisme atau kondisi win-win.
Kabar baiknya, kalangan merchant/penjual yang diajak berkolaborasi oleh para penyedia platform e-commerce tak lain adalah kalangan UMKM. Seperti kita ketahui, peranan UMKM dalam perekonomian nasional cukup strategis. Menurut data Bank Indonesia ataupun Kementerian Koperasi & UKM, pada 2017 ada sekitar 63 juta unit usaha. Dan, ini yang lebih penting, kontribusinya terhadap PDB sudah lebih dari 60 persen, yang berarti lebih besar daripada kontribusi kalangan perusahaan besar.
Sebagai contoh bagaimana efek kehadiran para penyedia platform e-commerce ini, jumlah UMKM yang telah bergabung sebagai merchant di Tokopedia pada 2018 mencapai 4,9 juta unit. Sementara Bukalapak sudah menggaet sekitar 4 juta pelapak. Adapun Kudo sudah menggandeng 2 juta agen (terdiri dari warung/usaha mikro atau individu) di lebih dari 500 kota di Indonesia, yang menjual produk digital seperti pulsa dan vocer game.
Bicara program nasional, Kementerian Kominfo pernah menargetkan untuk mendorong sebanyak 8 juta unit UMKM agar dapat memasarkan produknya secara online (go online). Saat ini, Kemkominfo mengklaim sudah ada sekitar 7,2 jutaUMKM yang go online. Yang menggembirakan, menurut seorang pejabat kementerian ini, pada 2018 terjadi peningkatan pesat UMKM yang memasuki ranah online, yakni ada penambahan 2,64 juta unit usaha. Ini tiga kali lipat dibandingkan penambahan di tahun 2017 yang sebesar 810 ribu unit usaha.
Kalau benar demikian, boleh jadi target 8 juta UMKM goonline bisa tercapai. Dan, tak bisa dimungkiri. Keberhasilan ini juga lantaran peran yang dimainkan para pelaku digital business penyedia platform e-commerce. Hal ini membuktikan bahwa tak selalu perusahaan digital itu menjadi ancaman bagi kehidupan dan masa depan kalangan UMKM.
Bagusnya pula, sejumlah petinggi perusahaan penyedia platform e-commerce dengan terus terang menyatakan bahwa target mereka bukan cuma mendongkrak kinerja bisnis perusahaan mereka, atau sekadar mengerek nilai valuasi perusahaan tersebut, tetapi juga ingin membuat para UMKM mitra bisa berkembang lebih baik. Inilah cantiknya bisnis berbasis platforms.(wrt/hli)