Headlines.id – Kasus virus Corona di Republik Indonesia sudah enam bulan sejak kasus pertama ditemukan. Ketua Umum Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia, Dr dr Hariadi Wibisono, menyoroti soal kurva kasus COVID-19 yang belum menurun.
“Ukuran terkendali yang harus disepakati, yaitu jumlah kasus baru melandai atau turun. Jumlah yang memerlukan perawatan di RS juga menurun. Di lapangan, pelacakan kasus diikuti dengan pelacakan kontak intensif, jumlah kesembuhan meningkat,” ucap Hariadi saat dihubungi detikcom , Rabu (2/8/2020).
“Dan tampaknya, ke semua ukuran itu belum menunjukkan gambaran yang diharapkan. Bahkan, ditambah dengan bertambah tenaga medis dan paramedis yang gugur dalam tugas,” lanjutnya.
Hariadi pun mengomentari pandangan Presiden Joko Widodo soal kasus sudah relatif terkendali karena angka persentase kesembuhan saat ini 70,2% di atas rata-rata dunia, yakni 69%. Bagi Hariadi, makna ‘terkendali’ adalah soal pengendalian penyebaran.
“Terkendali itu penyebabnya yang ditangani, yaitu tak ada penularan atau transmisi kasus. Kesembuhan itu keberhasilan hilir. Apalagi bentuk persen. X/Y, kalau Y naik, persentasenya akan turun kan. Supaya jelas, X/Y, X adalah yang sembuh, Y adalah yang dirawat, jadi kalau dirawat naik, maka angka sembuh turun kan. Padahal, kita mau yang dirawat bahkan jumlah yang sakit yang harus turun,” katanya.
Bagi Hariadi, kasus terkendali tercipta jika temuan kasus di lapangan menurun, diikuti penelusuran kasus atau tracing yang meningkat.
“Yes, (harusnya) jumlah kasus riil (real cases) bukan jumlah kasus yang ditemukan, kalau masih banyak yang nggak ditemukan,” kata Hariadi.
“Yes, (harusnya) tracing meningkat, tantangan/kendalanya adalah para contact merasa ada stigma sehingga nggak mau unjuk diri,” katanya.
Hariadi menyoroti pelonggaran pembatasan sosial yang dilakukan oleh pemerintah. Pelonggaran ini, kata dia, memiliki risiko gagalnya pengendalian penularan.
“Kebijakan pelonggaran dengan alasan ekonomi sangat dilematis, namun sangat berisiko gagalnya upaya pemutusan rantai penularan di masyarakat. Karena persepsi masyarakat ‘the war is over’,” kata Hariadi. (detikcom/hli)