Mimik Serius Anies Baca ‘How Democracies Die’ Dianggap Cuma Gimik

Foto: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan di kawasan Bundaran HI. (Wilda/detikcom)

Headlines.id – Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto tengah membaca buku berjudul ‘How Democracies Die’ di sosial medianya. Anies mengunggah foto tersebut sambil menikmati suasana libur di akhir pekan.

Postingan tersebut diunggah pada Minggu (22/11) pagi dan telah mendapat respon disukai 44.454 orang per pukul 10.52 WIB. Serta mendapat 2 ribu lebih komentar dari netizen.

“Selamat pagi semua. Selamat menikmati Minggu pagi,” tulis Anies, dalam caption fotonya.

Dalam foto tersebut Anies memakai baju koko bewarna putih dan sarung berwarna coklat. Anies membaca buku berjudul How Democracies Die sambil duduk menyilangkan kakinya, ia duduk di depan rak buku yang menjadi latar belakangnya.

Buku How Democracies Die merupakan karya penulis profesor Harvard, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Buku tersebut membahas terkait beberapa pemimpin di dunia yang terpilih melalui Pilpres tetapi lekat dengan label diktator.

Menanggapi postingan tersebut, PDIP DKI meminta Anies jangan terlalu banyak gimmick. Anies diminta lebih fokus ke penanganan pandemi Corona (COVID-19).

“Dari pada memperbanyak gimmick, saran saya, Pak Anies lebih tekun dan konsentrasi saja sama penanganan COVID-19 di Jakarta yang meningkat tajam akhir-akhir ini, buah dari ketidaktegasan beliau,” kata Wakil Ketua Fraksi PDIP DPRD DKI, Ima Mahdiah, kepada wartawan, Minggu (22/11).

Selain itu, Ima juga menilai seharusnya Anies fokus ke pembahasan terkait masalah di DKI ketimbang menyampaikan gimmick politik seperti ini. “Dan juga pembahasan APBD 2021. Itu lebih penting daripada menyampaikan pesan-pesan politik seperti ini,” tegas Ima.

Terkait dengan buku ‘how democracies die’ yang dibaca Anies di sela akhir pekannya. Ima berharap Anies belajar banyak dari buku itu terkait bahaya politisi berada di barisan yang sama dengan kelompok ekstrimis.

“Jika dibaca sampai habis, Levitsky dan Ziblatt di buku itu benar-benar menjelaskan bagaimana berbahayanya jika politisi yang pragmatis dan oportunis bisa bergandengan tangan dan satu barisan dengan kelompok ekstrimis. Semoga Pak Anies bisa belajar banyak dari buku tersebut,” tutur Ima.

Diketahui dalam buku How Democracies Die, penulis mencatat bahwa kemunculan beberapa pemimpin diktator justru merupakan hasil dari pemilu. Demokrasi mati bukan karena pemimpin diktator yang memperoleh kekuasaan lewat kudeta, melainkan justru yang menang melalui proses pemilu.

Setidaknya hal ini mereka catat saat Donald Trump, yang diusung oleh Partai Republik, menang pada Pilpres Amerika Serikat tahun 2016. Trump unggul atas kandidat Partai Demokrat, Hillary Clinton. Padahal banyak lembaga survei lokal yang memprediksi kekalahan Trump. Trump diduga kuat menang karena berhasil memainkan isu rasisme kulit hitam dan menebarkan ketakutan melalui hoax.

Begitu terpilih, Trump langsung mengeluarkan pernyataan kontroversial yang semakin mengesankannya sebagai diktator. Beberapa di antaranya pernyataan perang yang diumumkan lewat akun Twitter pribadinya, rencananya membangun tembok perbatasan Meksiko-Amerika Serikat; kebijakan luar negeri Korea Utara dan Afghanistan yang memicu perang; reformasi pajak; sikapnya arogan pada media yang mengkritiknya, ketidakpercayaannya pada fenomena perubahan iklim; hingga yang paling kontroversial soal pengakuan Trump atas Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

Pada buku ‘How Democracies Die’, selain di Amerika Serikat, Brasil, Filipina, dan Venezuela, fenomena ‘soal pemimpin yang menang pemilu, namun terkesan diktator’ ini juga terjadi di beberapa negara lain, misalnya Peru, Polandia, Rusia, Sri Lanka, Turki, dan Ukraina.

(detikcom/hli)


Ikuti Kami di Google News: HEADLINES.ID